Selasa, 15 Mei 2012

hari ini aku menangis, karena di hari lain aku akan BAHAGIA :')

Diposting oleh its mine di 08.46

Rongga telah menyatukan dua sisi berbeda, memberi kesempatan untuk mulai tenggelam, hingga temukan penuntun keselarasan. Menerawang dalam bahagia, membawa nafasku dalam syahdunya satu kata indah dalam hidupku.
“Cinta.”



Maka saat inilah, aku juga kalian akan merasakan kebahagian. Inilah tentang goresan di dalam hidupku.
Jauh sebelum terciptanya keberadaanku, tanpa ku sadari telah ada mereka yang bersiap mengenalkanku tentang cinta. Mereka belum pernah kukenal tapi kurasa sentuh lembutnya dari kalbu. Mempersembahkan nama indah dengan tulusnya hati suci. Mereka yang terpenting untukku. Mamahku juga ayahku.
Namaku Azkia, aku adalah seorang anak perempuan pertama dari mamah dan ayahku. Bagiku suatu keberuntungan telah lahir sebagai anugerah dalam kehidupan mereka. Sebagai pemegang penuh cita-citanya tentangku, kelak aku ingin membalas semua yang telah diberikan. Aku akan selalu memberikan doaku yang akan menjaga mereka dari jauh ketika ada atau tak ada aku lagi.  


Semakin senja usia mereka takkan membuatku terbentang dalam gelap. Mereka penuntun kearah yang kian menyinariku. Itulah segalanya tentang mereka yang ku sayangi. Aku akan setia menemaninya dalam gelap dan terang.
Aku tumbuh menjadi seorang anak perempuan pertama yang mereka banggakan. Aku selalu mendapat perlakuan istimewa dari keduanya. Melewati hari indah tanpa beban yang belum aku ketahui. Tertawa, saling memberikan kebahagiaan. Hingga waktu membawaku ke tepian alur cerita, memaksaku untuk semakin membuka mata lebih lebar. Untuk tak mudah terlepas dari batasan yang telah tersepakati sehingga aku tak terpental jauh dari titik aman.


Dengan segala keterbatasanku, aku melangkah perlahan demi perlahan. Ayah yang selalu bersabar untuk turut memberikan arahan terbaiknya. Ayah selalu tegas bertindak, ayah tak ingin melihatku tumbuh menjadi seorang wanita yang lemah. Ayah selalu memantau perkemnbanganku dalam pendidikan, tak peduli betapa lelahnya beliau berkelana siang dan malam. Ayah ingin aku tegar menghadapi hidupku. Ayahku sangat menyangiku, walau caranya menyangiku mungkin sedikit berbeda.
Suatu hari ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, pernah peringkatku di kelas menurun akhirnya ayah melemparku dengan sepatunya yang besar. Aku berpura-pura untuk tak ingin menangis di depannya walau hatiku kecewa, tapi aku tidak merasa sakit hati karenanya. Mungkin itu memang caranya mendidiku agar aku tak layu saat aku telah tumbuh dan dihadapkan pada banyak pilihan.
Ya inilah hidup, hidup adalah tempat dimana terdapat bingkai cerita dengan beragam tujuan. Kita telah memiliki jalan masing-masing. Tak perlu menyesali dan bahkan mengeluh tentangnya. Hidup tak mudah dimengerti tapi cukup untuk dijalani dengan hati yang lapang. Maka hidup ini adil ketika semua merasakan ketidakadilan. Ketidakadilan yang tercurah dalam segala bentuk penolakan dari ketidaknyamanan.


Entah apa yang semestinya kurasakan untuk ini, untuk keadaan ini, keadaan orang tuaku yang kadang tak menentramkan hati kecilku. Mamah, Ayah, maafkan aku. Aku hanya ingin orang-orang yang kusayangi nyaman bersamaku, begitupun sebaliknya. Aku ingin berusaha menjadi yang terbaik di mata orang yang ku sayangi, dimata keluargaku.
Karena bagiku keluarga merupakan satu kesatuann yang terikat dalam ikatan kasih dan sayang. Ini adalah kunci yang dapat menutup atau membuka kisah dalam keluarga. Kunci yang membuat sekat hingga tak sembarang orang bebas datang dan pergi.
Taukah, sejak aku kecil hingga aku cukup dewasa aku sering melihat orang tuaku bertengkar hebat. Sangat hebat. Bahkan beberapa kali mereka hampir berpisah. Dulu ketika aku masih duduk di bangku SMP dan aku baru saja pulang sekolah, aku pernah mendapati rumahku sangat tak karuan. Ternyata mamahku bertengkar dengan ayahku, mamahku terkena siraman minyak panas. Aku tak tega, tapi tak tahu harus kulakukan apa untukknya. Aku merasakan kesakitannya, tapi aku hanya diam.
Rasanya ketika itu ingin sekali ku balikan badan lalu menangis sekencang-kencangnya. Tapi sekuat tenaga aku berusaha menahan diri. Aku tak mengerti apa yang telah terjadi, adikku menangis di depanku. Mamahku menangis, mengemasi barang-barang dan kemudian membawaku juga adikku pergi bersamanya. Saat itu rasanya hatiku lunglai, sesungguhnya aku sedang menahan kesakitanku yang teramat dalam. Kesakitan yang sebenarnya tersisip dalam rasa sakit mamahku.
Untuk sementara waktu kami tinggal di rumah nenekku. Aku berpura-pura menghibur diri agar mamah tak semakin bersedih melihatku. Bukan menjadi hal pertama yang membuat mamahku bersedih menghadapi keadaan seperti ini. Tapi mamah tak pernah mementingkan perasaannya, mamah hanya mementingkan rasa terdalam orang-orang yang menyanginya.
Waktu berlalu hingga berangsur cukup lama, akhirnya ayah menjemput kami untuk kembali pulang kerumah kami yang seadanya. Kami tinggal di suatu kota di Yogyakarta, Bantul. Itulah tempat dimana kami tinggal.
Kami kembali tinggal bersama, tapi aku masih merasakan suasana asing didalamnya. Aku tak tahu harus melakukan apa untuk memperbaiki keadaan. Aku hanya anak yang berpura-puura cukup tegar untuk memandang segalanya baik-baik saja.
Ini bukan akhir dari segalanya, karena yang kacau adalah suasananya bukan diriku. Maka aku tak ingin menyia-nyiakan sekolahku dengan bermalas-malasan. Suatu saat nanti aku ingin melihat keluargaku merasakan bahagia yang seutuhnya. Aku ingin mereka selalu bahagia. Tak ada lagi kesedihan yang menyelimuti hidup kami.
Tahun demi tahun berganti, kehidupan keluargaku semakin menunjukkan perubahan. Sedikit demi sedikit aku mulai meyakini diriku bahwa aku akan merasakan kebahagiaan nyata.


Doaku terkabulkan. Ketika aku berusia 15 tahun, mamahku hamil dan melahirkan adik laki-laki untuk kami. Entah apa yang mendorong ayahku untuk menyaksikan kelahiran adik keduaku. Nyatanya saat itu ayah benar-benar menyaksikan langsung proses persalinan.
Sejak adikku lahir, ayah mulai bersikap baik pada mamahku. Mungkin ayah telah tersadar bahwa perjuangan seorang ibu begitu berat. Berada di antara hidup dan mati untuk memperjuangkan benih suci yang mereka nantikan. Aku bahagia.
Cerita kehidupan berjalan searah dengan tujuan hidupku berikutnya. Aku semakin masuk pada nyatanya kehidupan. Aku memasuki dunia SMA. Aku mendapatkan sahabat terbaikku disini. Bersama mereka aku dapat memiliki seberkas canda yang ramah dengan hari dan hidupku. Terimakasih nyunye, cipeh, nina dan okta. Jika suatu hari kalian melupakanku, aku tidak ingin melakukannya untuk kalian sahabat terbaiku. Kalian yang memberiku arti hidup, yang bersedia tertawa dan menangis bersamaku, perlahan membawaku pada kedewasaan.
Tak terasa, masa sekolahku memang sudah hampir mencapai titik puncak. Aku memasuki tahun ketiga masa SMA, masa ini adalah masa dimana aku akan memulai kehidupan yang sebenarnya. Aku akan menjalani proses kedewasaan. Aku akan segera beranjak dari langkah yang seharusnya  menjadi sebuah kepastian untukku.
Saat itu semua teman-temanku sudah mulai sibuk menyiapkan rencana untuk berdaftar perguruan tinggi disana-sini. Mereka mulai menyusun rencana, akan kemana mereka melanjutkan pendidikan selanjutnya. Mereka semua sibuk, tapi tidak denganku. Aku hanya dapat terdiam dalam sepi.
Dalam diamku, sesungguhnya aku benar-benar memikirkan nasibku harus bagaimana. Disatu sisi aku tau orang tuaku bukan sama sekali bermaksud untuk tidak peduli padaku. Aku tahu betul mereka sangat ingin melihatku menjadi wanita kebanggaan mereka yang akan membuat keduanya menangis bangga padaku. Tapi entahlah, terlalu sulit untuk mereka mengupayakan segalanya. Tak apa aku takan marah dan kecewa pada mereka, aku juga takan pernah menyalahkannya.
Akhirnya tanpa diketahui orang tuaku, aku mulai mencari informasi tentang beasiswa. Dari saat itu aku mulai memiliki rasa semangat untuk dapat melanjutkan pendidikan. Karena sejujurnya rasa semangatku untuk berkuliah sama seperti rasa semangat teman-temanku yang lain.
Langkahku kembali dimulai. Sampoerna School Of Education adalah yang pertama membuat rasa semangatku kembali mengobar. Rasanya ada secerca harapan yang bisa aku gantungkan disana. Aku mengikuti semua prosedur yang harus ku ikuti. Satu demi satu berkas aku penuhi. Guru-guru tersayangku mendukung di belakangku. Hingga diam-diam aku mengikuti seleksi beasiswa ini.
Awalnya, orangtuaku meragukan hal ini mereka takut ini hanya beasiswa pada hal tertentu saja dan tidak mencakup semua biaya pendidikan. Mereka takut jika aku akan terhambat di tengah jalan hanya karena suatu hal. Tapi usahaku keras meyakinkan kedua orang tuaku.
Aku sibuk mempersiapkan segalanya seorang diri, aku mengirimkan berkas seleksi itu ke kantor pos. Hampir saja aku celaka, berkas itu hampir basah saat terjatuh di dekat kubangan air di tepi jalan. Aku terus menyemangati diriku. Aku ingin meyakinkan kedua orang tuaku.
Seleksi pertama, alhamdulillah aku berhasil dan dinyatakan berhak untuk mengikuti tahapan berikutnya. Aku sangat terharu ketika itu. Ada rasa semangat dalam diriku, aku ingin membuat kedua orangtuaku bahagia. Aku harus berusaha dan setidaknya aku sudah mulai meyakinkan mereka perlahan demi perlahan.
Selanjutnya aku mengikuti tes tahap kedua, tes yang didalamnya terdiri dari ujian tertulis. Pada saat tes kedua ini perasaanku benar-benar bercampur aduk entah harus takut, sedih, ataukah bahagia. Bagaimana tidak, kedua orang tuaku yang mengantarkanku ke kota Magelang ketika aku akan mengikuti tes kedua tersebut. Dalam hatiku aku sangat tidak ingin mengecewakan mereka dan aku akan berusaha.
Disaat itulah aku bertemu seseorang yang dapat memotivasi hidupku, dialah Ferina. Untukku adalah suatu keberuntungan mengenalnya. Dia adalah temanku yang berasal dari Kota Malang. Ketika itu dia duduk di parkiran bersama ibu dan satu orang temannya untuk menunggu waktu test berlangsung. Dari situ kami mulai berkenalan. Kami saling berdiskusi dan bertukar nomer telepon. Kami belajar bersama dan aku merasa nyaman dengannya.
Kami usai mengikuti tes tersebut. Kami menunggu pengumuman itu tiba hingga waktu berlalu cukup lama. Akhirnya setelah sekian lama, pengumuman itu tiba. Aku melihat hasilnya di web sampoerna. Dengan sangat perlahan aku membacanya. AL HAM DU LI LLAH..aku lulus tes tahap kedua. Aku menangis, sangat menangis. Bagiku ini jalan pertama untuk menebus semua salah yang pernah ku lakukan pada mereka yang ku sayangi terlebih keluargaku tercinta. Mamah dan ayahku
Ketika itu Ferina pun lulus. Aku bahagia dan kami sama-sama bahagia. Terimakasih Ya Rabb.
Kami akan mengikuti tes berikutnya. Tes tahap ketiga. Ini adalah tes tahap terakhir yang menentukan bahwa kami akan dapat menerima beasiswa ini atau tidak, yang dapat menentukkan apakah aku bisa membahagiakan orangtuaku atau tidak.
Test tahap ketiga. Tes ini berlangsung pagi hingga petang selama tiga hari berturut-turut, aku harus pulang pergi Bantul-Magelang selama kurang lebih dua jam. Ketika itu aku mulai berfikir untuk mengajak ferina menginap di rumhaku yang amat sederhana. Entah mengapa aku sangat peduli padanya. Aku percaya kamu teman yang baik Ferina.
.Tes di mulai dari jumat-minggu. Ferina menginap di rumahku.

Hari jumat sebelum subuh tiba, sebetulnya kami sudah siap untuk naik bus. Namun, karena suatu hal kami terlambat untuk naik bus paling pertama. Kami menunggu agak lama hingga kami mendapat giliran bus berikutnya, tetapi baru saja bus itu mulai berjalan tak dapat kami kira bus itu mogok. Kami panik karena seharusnya kami sampai sebelum pukul 07.00 di kota Magelang. Kami terdiam tak mengerti. Kami berpasrah dan menunggu bus berikutnya.
Bus berikutnya tiba. Namun apa yang terjadi, busnya sangat penuh sesak. Tak dapat dibayangkan akan seperti apa kami disana, kami berdua hanya wanita yang mungkin tak cukup kuat untuk berdesakan di dalamnya. Melihat yang lain memaksa masuk pada bus itu, kami hanya berdiam diri sambil erat berpegang tangan di hadapan pintu bus itu. Astagfirullah..sebelumnya kami tak pernah berniat untuk memaksa masuk, tapi karna kuatnya arus yang ada entah mengapa kami masuk. Untung saja di dalam ada orang-orang yang masih peduli pada kami, kami dipersilahkan untuk masuk agak kedalam, karena khawatir melihat kami yang terlalu dekat dengan pintu bus. Tanpa sadar kami telah masuk bus itu, kami tertawa, ternyata kami masih diberi perlindungan dan keselamatan olehNya.
Kami turun di satu terminal di Kota Magelang, kemudian kami melanjutkan perjalanan dengan naik becak. Di dalamnya kami berdua sama-sama tertawa membayangkan yang baru saja kami alami. Segera kami mulai merapikan pakaian. Kami pun sampai sebelum pukul 07.00 di tempat kami akan mengikuti tes, kami memulai registrasi dan menjalani tes itu hingga usai.
Esok harinya kami haruus mulai menyusun rencana untuk mengajar di sekolah terminal di Kota Magelang. Kami benar-benar tak memiliki pengalaman sebelumnya. Tapi ini ujian, hanya harus dilalui jika ingin lulus ke tahapan berikutnya.
 Kami kembali pulang sekitar pukul 18.00. Saat hendak pulang kami diberi amplop putih yang berisi uang pengganti makan. Di jalan, temanku iseng melihat isi amplopnya. Dia tersenyum melihat isi yang ada di dalamnya. Kami sama-sama membukanya, dalam lelah kami pun sama-sama tersenyum.  
Hari sabtu tiba. Sekolah terminal, disana kami diharuskan untuk mengajar. Kami mengajar anak-anak seusia SMA. Kami bangga pada mereka, walau mereka pengamen dan anak jalanan, tetapi mereka sangat mengahargai kami. Mereka memerhatikan kami yang sebetulnya sedang sama-sama belajar. Keinginan mereka untuk belajar dan mendapat pendidikan sangatlah tinggi. Terimaksih kalian sangat mengajariku arti hidup teman.
Tes usai. Aku kembali pulang bersama Ferina. Kami kembali naik bus yang cukup padat karena ini akhir pekan, kami harus bersedia untuk sedikit berdesakan di dalamnya. Bagi kami itu bukan masalah terbesar.
Ini hari minggu. Tiba dimana kami akan mengukuti tes berikutnya, tes bagian terakhir dari tahap terakhir. Kami mengikuti tes itu dengan segala kepasrahan dan keterbatasan yang kami miliki. Segenap usaha, kami kerahkan saat itu. Kami takan melihat hasilnya nanti, yang penting kami harus berusaha dan tetap menunjukkan keseriusan kami.
Baiklah.
Tes berkahir. Perjuangan kami, belum berakhir.
Entah mengapa saat itu hatiku begitu sedih, sementara waktu aku harus berpisah dengan Ferina. Namun kami telah merencanakan sesuatu, rencana diantara aku dan Ferina.
Dua bulan lamanya kami menunggu.
Pengumuman itu tiba.
Ya Rabb..Seluruh tubuhku lemas tak berdaya.
Hatiku sangat hujan. Tak tahu aku harus bagaimana.
Ternyata kenyataan berkata lain.
Aku dinyatakan TIDAK LULUS.
Hanya ada beberapa orang beruntung dari Yogyakarta yang dapat berkuliah di Sampoerna School Of Education di Kota Jakarta, salah satunya Ferina. Aku bangga padanya.
Namun, dalam hati kecilku ingin sekali aku menangis. Tapi aku tak berani menangisinya di depan mamah, ayah, juga adik-adik tercintaku. Bagiku kisah sedih tak harus aku tunjukkan di hadapan orang-orang tercintaku. Mereka hanya boleh melihat dan merasakan kebahagiaan yang aku berikan.
Aku tersenyum di hadapan mereka, aku masuk dan mengunci diri di dalam kamar. Semalaman aku menangis, aku sangat bersedih, aku tidak tidur, aku lemas dan sangat bersedih. Hingga di tengah malam handphoneku bergetar, tanda ada pesan masuk di dalamnya. Inalillahi wa inaillaihi rajiun, ternyata temanku yang seharusnya lebih bersedih. Di masa kedewasaannya, dia kehilangan ibunya untuk selamanya. Kehilangan malaikat didalam hidupnya.
Aku berhenti menangis dan berfikir bahwa aku masih dapat mencari jalan lain. Jalan untuk meraih mimpi masih begitu lebar terhampar diluar sana. Aku masih bisa bekerja untuk dapat membiayai pendidikanku dan tak harus menyerah dalam keadaan ini.
Aku menangis hari ini, karena di hari lain aku akan bahagia.

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih :)

 

IT'S ABOUT LIFE :) Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea