Rongga
telah menyatukan dua sisi berbeda, memberi kesempatan untuk mulai tenggelam,
hingga temukan penuntun keselarasan. Menerawang dalam bahagia, membawa nafasku dalam
syahdunya satu kata indah dalam hidupku.
“Cinta.”
Maka
saat inilah, aku juga kalian akan merasakan kebahagian. Inilah tentang goresan di
dalam hidupku.
Jauh
sebelum terciptanya keberadaanku, tanpa ku sadari telah ada mereka yang bersiap
mengenalkanku tentang cinta. Mereka belum pernah kukenal tapi kurasa sentuh
lembutnya dari kalbu. Mempersembahkan nama indah dengan tulusnya hati suci. Mereka
yang terpenting untukku. Mamahku juga ayahku.
Namaku
Azkia, aku adalah seorang anak perempuan pertama dari mamah dan ayahku. Bagiku suatu
keberuntungan telah lahir sebagai anugerah dalam kehidupan mereka. Sebagai
pemegang penuh cita-citanya tentangku, kelak aku ingin membalas semua yang
telah diberikan. Aku akan selalu memberikan doaku yang akan menjaga mereka dari
jauh ketika ada atau tak ada aku lagi.
Semakin
senja usia mereka takkan membuatku terbentang dalam gelap. Mereka penuntun
kearah yang kian menyinariku. Itulah segalanya tentang mereka yang ku sayangi.
Aku akan setia menemaninya dalam gelap dan terang.
Aku
tumbuh menjadi seorang anak perempuan pertama yang mereka banggakan. Aku selalu
mendapat perlakuan istimewa dari keduanya. Melewati hari indah tanpa beban yang
belum aku ketahui. Tertawa, saling memberikan kebahagiaan. Hingga waktu membawaku
ke tepian alur cerita, memaksaku untuk semakin membuka mata lebih lebar. Untuk
tak mudah terlepas dari batasan yang telah tersepakati sehingga aku tak
terpental jauh dari titik aman.
Dengan
segala keterbatasanku, aku melangkah perlahan demi perlahan. Ayah yang selalu
bersabar untuk turut memberikan arahan terbaiknya. Ayah selalu tegas bertindak,
ayah tak ingin melihatku tumbuh menjadi seorang wanita yang lemah. Ayah selalu
memantau perkemnbanganku dalam pendidikan, tak peduli betapa lelahnya beliau
berkelana siang dan malam. Ayah ingin aku tegar menghadapi hidupku. Ayahku
sangat menyangiku, walau caranya menyangiku mungkin sedikit berbeda.
Suatu
hari ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, pernah peringkatku di
kelas menurun akhirnya ayah melemparku dengan sepatunya yang besar. Aku
berpura-pura untuk tak ingin menangis di depannya walau hatiku kecewa, tapi aku
tidak merasa sakit hati karenanya. Mungkin itu memang caranya mendidiku agar
aku tak layu saat aku telah tumbuh dan dihadapkan pada banyak pilihan.
Ya
inilah hidup, hidup adalah tempat dimana terdapat bingkai cerita dengan beragam
tujuan. Kita telah memiliki jalan masing-masing. Tak perlu menyesali dan bahkan
mengeluh tentangnya. Hidup tak mudah dimengerti tapi cukup untuk dijalani
dengan hati yang lapang. Maka hidup ini adil ketika semua merasakan ketidakadilan.
Ketidakadilan yang tercurah dalam segala bentuk penolakan dari ketidaknyamanan.
Entah
apa yang semestinya kurasakan untuk ini, untuk keadaan ini, keadaan orang tuaku
yang kadang tak menentramkan hati kecilku. Mamah, Ayah, maafkan aku. Aku hanya ingin
orang-orang yang kusayangi nyaman bersamaku, begitupun sebaliknya. Aku ingin berusaha
menjadi yang terbaik di mata orang yang ku sayangi, dimata keluargaku.
Karena
bagiku keluarga merupakan satu kesatuann yang terikat dalam ikatan kasih dan
sayang. Ini adalah kunci yang dapat menutup atau membuka kisah dalam keluarga.
Kunci yang membuat sekat hingga tak sembarang orang bebas datang dan pergi.
Taukah,
sejak aku kecil hingga aku cukup dewasa aku sering melihat orang tuaku
bertengkar hebat. Sangat hebat. Bahkan beberapa kali mereka hampir berpisah. Dulu
ketika aku masih duduk di bangku SMP dan aku baru saja pulang sekolah, aku pernah
mendapati rumahku sangat tak karuan. Ternyata mamahku bertengkar dengan ayahku,
mamahku terkena siraman minyak panas. Aku tak tega, tapi tak tahu harus
kulakukan apa untukknya. Aku merasakan kesakitannya, tapi aku hanya diam.
Rasanya
ketika itu ingin sekali ku balikan badan lalu menangis sekencang-kencangnya.
Tapi sekuat tenaga aku berusaha menahan diri. Aku tak mengerti apa yang telah
terjadi, adikku menangis di depanku. Mamahku menangis, mengemasi barang-barang
dan kemudian membawaku juga adikku pergi bersamanya. Saat itu rasanya hatiku
lunglai, sesungguhnya aku sedang menahan kesakitanku yang teramat dalam. Kesakitan
yang sebenarnya tersisip dalam rasa sakit mamahku.
Untuk
sementara waktu kami tinggal di rumah nenekku. Aku berpura-pura menghibur diri
agar mamah tak semakin bersedih melihatku. Bukan menjadi hal pertama yang
membuat mamahku bersedih menghadapi keadaan seperti ini. Tapi mamah tak pernah
mementingkan perasaannya, mamah hanya mementingkan rasa terdalam orang-orang
yang menyanginya.
Waktu
berlalu hingga berangsur cukup lama, akhirnya ayah menjemput kami untuk kembali
pulang kerumah kami yang seadanya. Kami tinggal di suatu kota di Yogyakarta,
Bantul. Itulah tempat dimana kami tinggal.
Kami
kembali tinggal bersama, tapi aku masih merasakan suasana asing didalamnya. Aku
tak tahu harus melakukan apa untuk memperbaiki keadaan. Aku hanya anak yang
berpura-puura cukup tegar untuk memandang segalanya baik-baik saja.
Ini
bukan akhir dari segalanya, karena yang kacau adalah suasananya bukan diriku.
Maka aku tak ingin menyia-nyiakan sekolahku dengan bermalas-malasan. Suatu saat
nanti aku ingin melihat keluargaku merasakan bahagia yang seutuhnya. Aku ingin
mereka selalu bahagia. Tak ada lagi kesedihan yang menyelimuti hidup kami.
Tahun demi tahun
berganti, kehidupan keluargaku semakin menunjukkan perubahan. Sedikit demi
sedikit aku mulai meyakini diriku bahwa aku akan merasakan kebahagiaan nyata.
Doaku terkabulkan. Ketika
aku berusia 15 tahun, mamahku hamil dan melahirkan adik laki-laki untuk kami. Entah
apa yang mendorong ayahku untuk menyaksikan kelahiran adik keduaku. Nyatanya
saat itu ayah benar-benar menyaksikan langsung proses persalinan.
Sejak adikku lahir, ayah
mulai bersikap baik pada mamahku. Mungkin ayah telah tersadar bahwa perjuangan seorang
ibu begitu berat. Berada di antara hidup dan mati untuk memperjuangkan benih
suci yang mereka nantikan. Aku bahagia.
Cerita kehidupan berjalan
searah dengan tujuan hidupku berikutnya. Aku semakin masuk pada nyatanya
kehidupan. Aku memasuki dunia SMA. Aku mendapatkan sahabat terbaikku disini. Bersama
mereka aku dapat memiliki seberkas canda yang ramah dengan hari dan hidupku. Terimakasih
nyunye, cipeh, nina dan okta. Jika suatu hari kalian melupakanku, aku tidak
ingin melakukannya untuk kalian sahabat terbaiku. Kalian yang memberiku arti
hidup, yang bersedia tertawa dan menangis bersamaku, perlahan membawaku pada
kedewasaan.
Tak
terasa, masa sekolahku memang sudah hampir mencapai titik puncak. Aku memasuki
tahun ketiga masa SMA, masa ini adalah masa dimana aku akan memulai kehidupan
yang sebenarnya. Aku akan menjalani proses kedewasaan. Aku akan segera beranjak
dari langkah yang seharusnya menjadi
sebuah kepastian untukku.
Saat
itu semua teman-temanku sudah mulai sibuk menyiapkan rencana untuk berdaftar perguruan
tinggi disana-sini. Mereka mulai menyusun rencana, akan kemana mereka
melanjutkan pendidikan selanjutnya. Mereka semua sibuk, tapi tidak denganku. Aku
hanya dapat terdiam dalam sepi.
Dalam
diamku, sesungguhnya aku benar-benar memikirkan nasibku harus bagaimana. Disatu
sisi aku tau orang tuaku bukan sama sekali bermaksud untuk tidak peduli padaku.
Aku tahu betul mereka sangat ingin melihatku menjadi wanita kebanggaan mereka
yang akan membuat keduanya menangis bangga padaku. Tapi entahlah, terlalu sulit
untuk mereka mengupayakan segalanya. Tak apa aku takan marah dan kecewa pada
mereka, aku juga takan pernah menyalahkannya.
Akhirnya
tanpa diketahui orang tuaku, aku mulai mencari informasi tentang beasiswa. Dari
saat itu aku mulai memiliki rasa semangat untuk dapat melanjutkan pendidikan.
Karena sejujurnya rasa semangatku untuk berkuliah sama seperti rasa semangat
teman-temanku yang lain.
Langkahku
kembali dimulai. Sampoerna School Of Education adalah yang pertama membuat rasa
semangatku kembali mengobar. Rasanya ada secerca harapan yang bisa aku
gantungkan disana. Aku mengikuti semua prosedur yang harus ku ikuti. Satu demi
satu berkas aku penuhi. Guru-guru tersayangku mendukung di belakangku. Hingga
diam-diam aku mengikuti seleksi beasiswa ini.
Awalnya,
orangtuaku meragukan hal ini mereka takut ini hanya beasiswa pada hal tertentu saja
dan tidak mencakup semua biaya pendidikan. Mereka takut jika aku akan terhambat
di tengah jalan hanya karena suatu hal. Tapi usahaku keras meyakinkan kedua
orang tuaku.
Aku
sibuk mempersiapkan segalanya seorang diri, aku mengirimkan berkas seleksi itu
ke kantor pos. Hampir saja aku celaka, berkas itu hampir basah saat terjatuh di
dekat kubangan air di tepi jalan. Aku terus menyemangati diriku. Aku ingin
meyakinkan kedua orang tuaku.
Seleksi
pertama, alhamdulillah aku berhasil dan dinyatakan berhak untuk mengikuti
tahapan berikutnya. Aku sangat terharu ketika itu. Ada rasa semangat dalam
diriku, aku ingin membuat kedua orangtuaku bahagia. Aku harus berusaha dan
setidaknya aku sudah mulai meyakinkan mereka perlahan demi perlahan.
Selanjutnya
aku mengikuti tes tahap kedua, tes yang didalamnya terdiri dari ujian tertulis.
Pada saat tes kedua ini perasaanku benar-benar bercampur aduk entah harus takut,
sedih, ataukah bahagia. Bagaimana tidak, kedua orang tuaku yang mengantarkanku ke
kota Magelang ketika aku akan mengikuti tes kedua tersebut. Dalam hatiku aku
sangat tidak ingin mengecewakan mereka dan aku akan berusaha.
Disaat
itulah aku bertemu seseorang yang dapat memotivasi hidupku, dialah Ferina. Untukku
adalah suatu keberuntungan mengenalnya. Dia adalah temanku yang berasal dari Kota
Malang. Ketika itu dia duduk di parkiran bersama ibu dan satu orang temannya
untuk menunggu waktu test berlangsung. Dari situ kami mulai berkenalan. Kami
saling berdiskusi dan bertukar nomer telepon. Kami belajar bersama dan aku merasa
nyaman dengannya.
Kami
usai mengikuti tes tersebut. Kami menunggu pengumuman itu tiba hingga waktu
berlalu cukup lama. Akhirnya setelah sekian lama, pengumuman itu tiba. Aku melihat
hasilnya di web sampoerna. Dengan sangat perlahan aku membacanya. AL HAM DU LI
LLAH..aku lulus tes tahap kedua. Aku menangis, sangat menangis. Bagiku ini
jalan pertama untuk menebus semua salah yang pernah ku lakukan pada mereka yang
ku sayangi terlebih keluargaku tercinta. Mamah dan ayahku
Ketika
itu Ferina pun lulus. Aku bahagia dan kami sama-sama bahagia. Terimakasih Ya
Rabb.
Kami
akan mengikuti tes berikutnya. Tes tahap ketiga. Ini adalah tes tahap terakhir
yang menentukan bahwa kami akan dapat menerima beasiswa ini atau tidak, yang
dapat menentukkan apakah aku bisa membahagiakan orangtuaku atau tidak.
Test
tahap ketiga. Tes ini berlangsung pagi hingga petang selama tiga hari berturut-turut,
aku harus pulang pergi Bantul-Magelang selama kurang lebih dua jam. Ketika itu
aku mulai berfikir untuk mengajak ferina menginap di rumhaku yang amat
sederhana. Entah mengapa aku sangat peduli padanya. Aku percaya kamu teman yang
baik Ferina.
.Tes
di mulai dari jumat-minggu. Ferina menginap di rumahku.
Hari
jumat sebelum subuh tiba, sebetulnya kami sudah siap untuk naik bus. Namun,
karena suatu hal kami terlambat untuk naik bus paling pertama. Kami menunggu
agak lama hingga kami mendapat giliran bus berikutnya, tetapi baru saja bus itu
mulai berjalan tak dapat kami kira bus itu mogok. Kami panik karena seharusnya
kami sampai sebelum pukul 07.00 di kota Magelang. Kami terdiam tak mengerti.
Kami berpasrah dan menunggu bus berikutnya.
Bus
berikutnya tiba. Namun apa yang terjadi, busnya sangat penuh sesak. Tak dapat
dibayangkan akan seperti apa kami disana, kami berdua hanya wanita yang mungkin
tak cukup kuat untuk berdesakan di dalamnya. Melihat yang lain memaksa masuk
pada bus itu, kami hanya berdiam diri sambil erat berpegang tangan di hadapan
pintu bus itu. Astagfirullah..sebelumnya kami tak pernah berniat untuk memaksa
masuk, tapi karna kuatnya arus yang ada entah mengapa kami masuk. Untung saja
di dalam ada orang-orang yang masih peduli pada kami, kami dipersilahkan untuk masuk
agak kedalam, karena khawatir melihat kami yang terlalu dekat dengan pintu bus.
Tanpa sadar kami telah masuk bus itu, kami tertawa, ternyata kami masih diberi perlindungan
dan keselamatan olehNya.
Kami
turun di satu terminal di Kota Magelang, kemudian kami melanjutkan perjalanan
dengan naik becak. Di dalamnya kami berdua sama-sama tertawa membayangkan yang
baru saja kami alami. Segera kami mulai merapikan pakaian. Kami pun sampai
sebelum pukul 07.00 di tempat kami akan mengikuti tes, kami memulai registrasi
dan menjalani tes itu hingga usai.
Esok
harinya kami haruus mulai menyusun rencana untuk mengajar di sekolah terminal
di Kota Magelang. Kami benar-benar tak memiliki pengalaman sebelumnya. Tapi ini
ujian, hanya harus dilalui jika ingin lulus ke tahapan berikutnya.
Kami kembali pulang sekitar pukul 18.00. Saat
hendak pulang kami diberi amplop putih yang berisi uang pengganti makan. Di
jalan, temanku iseng melihat isi amplopnya. Dia tersenyum melihat isi yang ada
di dalamnya. Kami sama-sama membukanya, dalam lelah kami pun sama-sama
tersenyum.
Hari
sabtu tiba. Sekolah terminal, disana kami diharuskan untuk mengajar. Kami
mengajar anak-anak seusia SMA. Kami bangga pada mereka, walau mereka pengamen
dan anak jalanan, tetapi mereka sangat mengahargai kami. Mereka memerhatikan
kami yang sebetulnya sedang sama-sama belajar. Keinginan mereka untuk belajar
dan mendapat pendidikan sangatlah tinggi. Terimaksih kalian sangat mengajariku
arti hidup teman.
Tes
usai. Aku kembali pulang bersama Ferina. Kami kembali naik bus yang cukup padat
karena ini akhir pekan, kami harus bersedia untuk sedikit berdesakan di
dalamnya. Bagi kami itu bukan masalah terbesar.
Ini
hari minggu. Tiba dimana kami akan mengukuti tes berikutnya, tes bagian terakhir
dari tahap terakhir. Kami mengikuti tes itu dengan segala kepasrahan dan
keterbatasan yang kami miliki. Segenap usaha, kami kerahkan saat itu. Kami
takan melihat hasilnya nanti, yang penting kami harus berusaha dan tetap
menunjukkan keseriusan kami.
Baiklah.
Tes
berkahir. Perjuangan kami, belum berakhir.
Entah
mengapa saat itu hatiku begitu sedih, sementara waktu aku harus berpisah dengan
Ferina. Namun kami telah merencanakan sesuatu, rencana diantara aku dan Ferina.
Dua
bulan lamanya kami menunggu.
Pengumuman
itu tiba.
Ya Rabb..Seluruh
tubuhku lemas tak berdaya.
Hatiku sangat hujan. Tak
tahu aku harus bagaimana.
Ternyata kenyataan
berkata lain.
Aku dinyatakan TIDAK
LULUS.
Hanya
ada beberapa orang beruntung dari Yogyakarta yang dapat berkuliah di Sampoerna
School Of Education di Kota Jakarta, salah satunya Ferina. Aku bangga padanya.
Namun,
dalam hati kecilku ingin sekali aku menangis. Tapi aku tak berani menangisinya
di depan mamah, ayah, juga adik-adik tercintaku. Bagiku kisah sedih tak harus
aku tunjukkan di hadapan orang-orang tercintaku. Mereka hanya boleh melihat dan
merasakan kebahagiaan yang aku berikan.
Aku
tersenyum di hadapan mereka, aku masuk dan mengunci diri di dalam kamar. Semalaman
aku menangis, aku sangat bersedih, aku tidak tidur, aku lemas dan sangat
bersedih. Hingga di tengah malam handphoneku bergetar, tanda ada pesan masuk di
dalamnya. Inalillahi wa inaillaihi
rajiun, ternyata temanku yang
seharusnya lebih bersedih. Di masa kedewasaannya, dia kehilangan ibunya untuk
selamanya. Kehilangan malaikat didalam hidupnya.
Aku
berhenti menangis dan berfikir bahwa aku masih dapat mencari jalan lain. Jalan untuk
meraih mimpi masih begitu lebar terhampar diluar sana. Aku masih bisa bekerja
untuk dapat membiayai pendidikanku dan tak harus menyerah dalam keadaan ini.
Aku
menangis hari ini, karena di hari lain aku akan bahagia.